Pages - Menu

Rabu, 25 Mei 2016

kedudukan tentang mahar



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seseorang wanita dengan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan calaon suami, kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri.
Islam tidak menetapka berapa banyak mahar yang harus diberikan kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama manusia. Ada orang kaya, adapula orang miskin, ada yang lapang da ada juga yang di sempitkan rezekiya. Disamping itu, setiap masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda.oleh karena itu masalah mahar diserahkan berdasarka kemampuan masing-masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Bahkan, islam mmembolehka memberi mahar dengan apa saja, asalkan bermamfaat, misaknya cicn besi, segantang kurma, atau mengajarka al-quran, dansebagainya atas kesepakatan kedua belah pihak

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Menjelaskan Kedudukan mahar dan pengertian  kedudukan hukum mahar.
2.      Menerangkan jenis-jenis mahar dalam pernikahan dan macam –macamnya

C.     TUJUAN MASALAH
1.      Agar mengetahui Kedudukan mahar dan pengertian  kedudukan hukum mahar.
2.      Agar mengetahui jenis-jenis mahar dalam pernikahan dan macam –macamnya




BAB II
PEMBAHASAN
KEDUDUKAN  DAN  JENIS MAHAR DALAM PERNIKAH
A.    Kedudukan mahar
1.      Pengertian dan hukum mahar
Mahar secara etimologi berarti mas kawin. Sedangkan mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon  suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suami.
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seseorang wanita dengan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan calaon suami, kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya.
Imam syafi’i mengtaka bahwa mahar adalah suatu yang wajib diberikan oleh seseorang lelaki kepad perempuan untuk dapad menguasai seluruh anggota badannya .[1]
Jika istri telah menerima maharnya, tampa paksaan dan tipu muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh di terima dan tidak di salahkan . akan tetapi,bila istri dalam memberikan mahrnya karena malu atau takut, maka tidak halal menerimanya.
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan imam malik mengatakan sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya wajib.




Firman allah :



Artinya: “berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”(An-Nisa 4 )

2.      Syarat–syarat mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat sbb.
a.       Harta bendanya berhaga
Tidak sah mahar dengan yang tidak memiliki harga  apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi memiliki nilai, maka tetap sah.
b.      Barangnya suci dan bisa di ambil mamfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena itu semua haram dan tidak berharga.
c.       Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengmbil barang milik orang lain tampa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikan kelak.
d.      Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya,  atau tidak disebuan jenisnya.[2]
3.      Kadar (jumlah) mahar
Islam tidak menetapka berapa banyak mahar yang harus diberikan kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama manusia. Ada orang kaya, adapula orang miskin, ada yang lapang dada dan ada juga yang di sempitkan rezekiya. Disamping itu, setiap masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda.oleh karena itu masalah mahar diserahkan berdasarka kemampuan masing-masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Bahkan, islam mmembolehka memberi mahar dengan apa saja, asalkan bermamfaat, misaknya cincin besi, segantang kurma, atau mengajarka al-quran, dan sebagainya atas kesepakatan kedua belah pihak.
Mengenai besarnya mahar, fuqaha sepakat bahwa mahar itu tidak ada batasnya, apakah sedikitatau banyak. Namu mereka berbeda pandapat tentang batasan paling sedikitnya.
Iman syafi’i ahmad, ishaq, abu saur, dan fuqaha madinah dari kalangan tabiin mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi suatu yang lain dapat dijadika mahar.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnnya. Imam malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni., atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang sebanding berat emas dan perak tersebut.
Imam hanafiah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, adalagi yang mengatakan empat puluh dirham.
Perbedaan pendapat tersebut di sebabkan dua hal
a.       Ketidak jelasan akat nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran., karena yang di jadikan pegangan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai suatu ibadah, yang sudah ada ketentuannya.
b.      Adanya pertentangan antara qiyas yang menyelidiki adanya pembatasan mahar, dengan maffum, hadis yang tidak menghendaki adnya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu  ibadah, sedangkan ibah itu sudah ada ketentuannya.[3]
4.      Memberi mahar dengan kontan dan utang
Pelaksanaan memberi mahar bisa di lakukan sesuai kemampuan atau di sesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat,atau kebiasaan yang berlaku .mahar boleh di laksanakan dan di berikan dengan kontan atau utang.  
Dalm hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan di kalangan ahli fiqh. Segolongan ahli fiqh berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh di berikan dengan cara di hutang keseluruhan. Segolongan lainya mengatakan bahwa mahar boleh di tunda pembayarannya, tetapi menganjurkan membayar sebagian mahar dimuka manakala akan mengauli istri.
Dan di antara fiqaha yang membolehkan penundaan mahar (di angsur) ada yang membolehkan hanya untuk tegangan waktu terbatas yang telah di tetapkan.
B.     Jenis-Jenis Mahar Dalam Pernikahan
1.      Macam- Macam Mahar
Masalah jenis barang yang dapat di gunakan untuk mahar, bisa sesuatu yang dapat dimiliki atau di ambil mamfaatnya, juga dapat di jadikan pengganti atau di tukarkan.Adapun memngenai macam-macamnya , ulama fiqh sepakat bahwa mahar itu bisa di bedakan menjadi  dua.
a.       Mahar musamma
Yaitu mahar yang sudah di sebutan atau di janjikan kadar dan besarnya ketika akat nikah.ulama fiqh sepakat bahwa dalam pelaksanaan mahar musamma , harus diberikan secara penuh. Meskipun menceraikan istri yang lama itu bukan tujuan untuk menikah, meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak di bolehkan
b.      Mahar misil (sepadan)
Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika tejadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan penganti wanita (bibi,bude,anak permpuan bibi,/bide), apabila tidak ada maka misil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sbb:
1.      Bila tidak di sebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah ,kemudian suami telah bercampur dengan istri atau meninggal sebelum bercampur.
2.      Kalau mahar musamma belum di bayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah
Dalam hal ini, nikah yang tidak disebutkan dan tidak di tetapkan maharnya,maka nikahya disebut nikah tafwid
Kemudian ulama berbeda pendapat dalam dua hal :
a.       Jika istri mempertuntut penentuan mahar
Apabila istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka golongan fuqaha berpendapat bahwa ia tidak memperoleh mahar misil. Akan tetapi, jika suami menceraikan istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha mengatakan bahwa istri memperoleh separuh mahar. Imam malik dan pengikutnya mengatakan bahwa suami boleh memilih salah satu dari tiga hal, yaitu: ia boleh menceraikan istrinya tanpa menentukan mahar, atau menentukan jumlah mahar , sebagai mana yang di tuntut oleh istri, atau menentukan mahar misil dan istri harus menerimanya.
b.      Jika suami meninggal sebelum menentukan mahar
Apabila suami meninggal sebelum menentukan mahar, dan belum menggauli istrinya, maka imam malaik serta pengikutnya  serta Al-Auza’li berpendapat bahwa, istri tidak memperoleh mahar tetapi memperoleh mut’ah dan warisan. Imam abu hafiah berpendapat bahwa, istri memperoleh mut’ah dan warisan . pendapat ini juga di kemukakan oleh imam ahmad dan abu daud. Kedua pendapat ini juga di riwayatkan dari imam syafii. Tetapi yang di jadikan pegangan di kalangan pengikutnya adalah pendapat imam malik.
3.      Gugur/rusaknya mahar
Rusaknya mahar bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak dilakukan atau sulit di serahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar,babi, dan barang-barang yang tidak boleh dimiliki, sedangkan mahar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya di samakan dengan jual beli yang mengandung  lima persoaalan pokok.
a.       Barangnya tidak boleh di miliki
b.      Mahar digabungkan dengan jual beli
c.       Penggabungan mahar dengan pemberian
d.      Cacat pada mahar
e.       Persyaratan dalam mahar
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta lepas, maka imam abu hanafiah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar misil.akan tetapi, imam malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama mengatakan bawa akat nikahnya rusak dan harus dibatalkan  (fasakh), baik sebelum maupunsesudah dukhul. Pendapat ini juga di kemukekan oleh abu uabaid. Kedua mengatakan apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap, dan istri memperboleh mahar misil.
4.      Mahar yang di persengketakan suami istri
Persengketaan antara suami istri tidak terlepas dari masalah penerimaan apakah mahar sudah di terima atau belum, atau kadar besarnya mahar, macamnya atau waktunya nyakni apakah mahar itu menjadi wajib.
a.       Kadar mahar
Jika terjadi persengketaan tentang besarnya mahar, misalnya, jika istri meminta dua ratus dirham sedangkan suami meminta seratus dirham, maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama fiqh.
Imam malik mengatakan bahwa apabila persengketaan tesebut terjadi sebelum dukhul, sedang suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan kata-kata istri dan istri juga mengemukakan kata-kata yang mirib dengan kata-kata suami, maka keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan.
b.      Penerimaan mahar
Apabila suami istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila istri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah memberikanya, maka jumhur fuqaha, seperti imam syafi’i As-sauri, ahmad, dan abu saur berpendapat bahwa, yang menjadi pegangan adalah kata2 istri, dan ini lebih baik, karena ia menjadi pihak tergugat.
Imam malik berpendapat bahwa yang di jadikan pegangan adalah kata-kata istri sebelum dukhul, dan dijadikan pegangan kata-kata suami sesudah dukhul.





BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN




[1] Abdurrahman al-jaziri. Al-fiqhu ‘ala mazaahibil arba’ah,juz 4. Hlm. 94
[2] Ibit, hlm. 103
[3] Ibni rusyd,bidayatul mujtahit,juz, II, halm.387

Tidak ada komentar:

Posting Komentar